Tuesday, November 24, 2009

Gempa ??

Senin malem, tepatnya masih agak sore, sekitar jam 6, terdengar suara *grek grek grekkk jdekkk* dan terulang sampe beberapa kali. Awalnya aku engga curiga sama sekali ada apa di belakang sana. Waktu itu aku di depan komputer, sementara suara itu terdengar dari bagian belakang rumah, di daerah kamar mandi, dapur, mesin cuci dan ruang makan berkumpul.

Awalnya terdengar enggak seberapa jelas. Aku pikir itu cuman angin yang menggerak-gerakkan atap rumah di bagian atas jemuran. Jadi, sudah menajamkan pendengaran tetapi masih belum beranjak dari depan komputer. Setelah akhirnya berulang lagi, aku pun tergelitik rasa ingin tahu -ditambah kengerian- (jangan-jangan ada pencuri masuk dari atas) dan beranjak ke belakang. Dan, kutemukan pemandangan yang tak terduga. Beberapa potong keramik lantai sudah terangkat sekian centimeter dari tempat seharusnya dia melekat. Ahk! Bener-bener engga nyangka. Entah apa sebabnya, mungkin karena pergerakan tanah, memuai atau menyusut aku nggak tau, yang jelas setelah kejadian itu jadi susah untuk melangkah di daerah belakang itu tadi. Mobilisasi terhambat. Bagian-bagian yang terangkat sudah jelas tidak mungkin aku injak dengan leluasa, terlebih lagi dengan berat badan yang... (ehemm, tau sendiri toh... memasuki bulan-bulan akhir kehamilan... berat badanku jadi 75kg... hahaha) Sekali waktu kelupaan kalo keramik lantai sudah terangkat dan aku melenggang di atasnya, hasilnya? Krieetttt... gitu bunyinya... hiiyy... merinding sesaat dan buru-buru menyelesaikan perjalananku di atas keramik-keramik itu. Syukurlah engga ada yang pecah... fiuh!!

Jam setengah tujuh lebih Meikel pulang. Syukurlah. Biasanya tiap Senin ada rapat sampe malem. Tapi malem itu, Meikel pulang lebih awal. Hore. Dan Meikel terperangah juga ngeliat kondisi ruang makan. Setelah pikir pikir dan coba coba dibongkar pake dicungkil cungkil, akhirnya Meikel nyerah. Aku ngeliat usahanya juga ngerasa nggak mungkin selesai sampe pagi kalo kayak gitu caranya. Akhirnya Meikel memutuskan untuk memotong pake alat semacem gergaji gitu... (ndak tau namane... Meikel kalo nyebut namane terdengar seperti sirkel... sirup kelapa? hahaha) Dan akhirnya *ngiiingggg ngggiiingggg ngiiingggg* mendenging memenuhi kepalaku dan debu berhamburan dengan dahsyatnya, menyelip dengan sigap ke dalam lubang hidung yang sudah aku tutupi dengan selembar kain. Bwerk! Setelah beberapa menit membantu Meikel mengairi keramik yang dipotong (supaya enggak terlalu panas dan pecah), akhirnya aku nyerah. Pamit ke teras rumah. Menghirup udara segar sebanyak-banyaknya walau bau debu masih menggantung di sela-sela saluran pernafasanku. Bwah!

Akhirnya sekitar jam 8 selesai sudah acara pembongkaran itu. Aku kembali masuk ke dalam rumah dan mendapati daerah ruang makan berkabut dan berbau debu. Hawrk! Kerja keras menanti. Bekas lantai yang dibongkar sangat kotor. Debu bercampur air. Coklat dan lengket, ditambah serpihan2 keramik yang agak tajam terasa menggigit-gigit telapak kaki ke mana pun melangkah. Hiy! Lemari, dapur, meja makan, semuanya berlapis debu. Patung2 dan foto2 yang berada di lemari juga diselimuti debu. Akhirnya, ambil lap dan mulailah bekerja. Semuanya selesai sekitar jam 10 malam. Waktunya mandi (lagi). Mau nggak mandi juga nggak mungkin. Tidur dengan debu menempel di rambut dan tubuh rasanya kok enggak nyaman ya... Istirahat sambil nunggu air panas, waktunya menyelonjorkan kaki... dan rasanya... ampun deh... pegelll banget... hahaha... Berdiri kurang lebih 3 jam ditambah prosesi bersih2 ternyata menguras staminaku. Fiuh. Capeknya berasa banget pas bangkit dari duduk. Nyaris nggak kuat mengangkat badan dari sofa.

Selama bersih2, aku ngelap2 sementara Meikel ngepel2 dan bersihin pecahan2 keramik, kita ngebahas sebab musabab kok bisa terjadi seperti ini. Dan hasilnya? Tidak ada... hahaha. Aku bilang, "Jangan-jangan tadi ada gempa... jadi ada pergeseran tanah..." Hahaha.

Siapa yang pernah tau kejadian apa yang bakal kita alami beberapa saat setelah sekarang? Kejadian yang kualami juga tidak terduga. Sepanjang pengetahuanku, lantai dasar tidak mungkin mengalami peledakan lanatai seperti itu. Rumah di Semarang yang meledak lantainya di tingkat dua. Di pertokoan2 berlantai keramik juga banyak yang mengalami di lantai dua. Mungkin disebabkan karena lanati dua lebih tidak stabil. Tembok yang mengapitnya bisa bergerak-gerak dan akhirnya menyebabkan lantai juga bergeser-geser tak menentu.

Masa depan, sekian detik ke depan, tidak ada seorang pun tahu apa yang akan terjadi.

Maen Aer

Beberapa hari terakhir, tetangga sebelah sedang merenovasi rumahnya. Mulai dari mengijinkan beberapa orang tukang yang menginap di rumah sebelah. Tukang-tukang yang sangat suka merokok. Ih! Membongkar atap rumah, membersihkan rayap, mengecat rumah dan akhirnya menyebabkan debu-debu beterbangan sampai ke dalam rumah. Uhuk-uhukkk! Belum lagi sekarang ditambah dengan kegiatan memotong keramik yang menyebabkan debu-debunya berhamburan ke sana sini, bahkan beberapa kali saat aku keluar ke teras rumah bisa ngeliat debu menggantung seperti kabut yang menggelayut mengaburkan pandangan ke jalan depan rumah. Bau debu sangat sangat mengganggu. Udara sejuk (mendung dan beberapa kali hujan mengguyur) yang beberapa hari terakhir mulai 'terlihat' nggak dapat sepenuhnya kunikmati. Pintu dan jendela kututup rapat-rapat demi mengurangi serpihan debu yang melayang masuk ke dalam rumah. Jadi, panas tetep merajalela dan menyebabkan keringatku menganak sungai (hahaha, ekstrim).

Meikel bilang, sering-sering siram air di depan aja, biar debu ndak terlalu banyak. Memang ngefek sih... tapi buat nyiram2 jalan depan rumah kan itu berarti aku musti ke teras rumah dan tersengat bebauan asap rokok. Ugh! Sejak sebelum hamil tiap kali kena asap rokok aja sudah pusing-pusing, apalagi sekarang... Akhirnya, tiap kali jam makan siang (di saat para tukang pergi makan atau tiduran) yang berarti asap rokok nggak sepekat kalau mereka sedang bekerja, aku siram-siram jalan di depan rumah. Aku semprot pake air dari selang. Dari balik pagar aku siram jalanan. Sekalian nyiram taneman. Untuk menghasilkan semprotan yang jauh ke tengah jalan, luas bidang tempat keluarnya air musti diperkecil, diberi tekanan. Barulah air yang keluar akan memancar lebih jauh. Namun, bila tekanan yang aku berikan terlalu besar, ujung selang satunya (yang menancap di keran) malah terlepas, karena kurang kuat 'mencengkeram' keran.

Dalam hidup ini, kita sering 'berkelakuan' seperti air di dalam selang itu. Di saat kita mendapatkan jumlah tekanan yang 'tepat' kita bisa tepat sasaran melakukan hal-hal sesuai dengan kehendak Sang Penyemprot. Namun, bila tekanan yang diberikan terlalu besar, sementara kita tidak kuat berpegang pada Sumber Air, maka kita akan mengalir tak terkendali dan terbuang dengan begitu saja, tidak tepat pada sasaran. Bahkan, bisa dibilang kita menjadi seperti air yang tumpah dengan sia-sia.

Kehidupan seperti apakah yang akan kita pilih? Hidup yang terus memancar tepat sasaran seturut dengan kehendak Sang Pencipta -yang dibarengi dengan konsisten melekat pada Sang Sumber; atau membiarkan hidup kita mengalir begitu saja, tanpa arah, memancar tak terkendali, membasahi -bahkan mengotori dan mungkin mencelakai- orang-orang yang berada di dekat kita?

Friday, September 25, 2009

The Love Test

by Max Lucado

Have you ever made decisions about your relationships based on your feelings instead of the facts? When it comes to love, feelings rule the day. Emotions guide the ship. Goose bumps call the shots. But should they? Can feelings be trusted? Can a relationship feel right but be wrong?

Feelings can fool you. Yesterday I spoke with a teenage girl who is puzzled by the lack of feelings she has for a guy. Before they started dating, she was wild about him. The minute he showed interest in her, however, she lost interest.

I’m thinking also of a young mom. Being a parent isn’t as romantic as she anticipated. Diapers and midnight feedings aren’t any fun, and she’s feeling guilty because they aren’t. Am I low on love? she wonders.

How do you answer such questions? Ever wish you had a way to assess the quality of your affection? A DNA test for love? Paul offers us one: “Love does not delight in evil but rejoices with the truth” (1 Cor. 13:6 NIV). In this verse lies a test for love. Want to separate the fake from the factual, the counterfeit from the real thing? Want to know if what you feel is genuine love? Ask yourself this:

Do I encourage this person to do what is right? For true love “takes no pleasure in other people’s sins but delights in the truth” (1 Cor. 13:6 JB).
If you find yourself prompting evil in others, heed the alarm. This is not love. And if others prompt evil in you, be alert.
Here’s an example. A classic one. A young couple are on a date. His affection goes beyond her comfort zone. She resists. But he tries to persuade her with the oldest line in the book: “But I love you. I just want to be near you. If you loved me …”
That siren you hear? It’s the phony-love detector. This guy doesn’t love her. He may love having sex with her. He may love her body. He may love boasting to his buddies about his conquest. But he doesn’t love her. True love will never ask the “beloved” to do what he or she thinks is wrong.

Love doesn’t tear down the convictions of others. Quite the contrary.
“Love builds up” (1 Cor. 8:1).
“Whoever loves a brother or sister lives in the light and will not cause anyone to stumble” (1 John 2:10).
“You are sinning against Christ when you sin against other Christians by encouraging them to do something they believe is wrong” (1 Cor. 8:12 NLT).

Do you want to know if your love for someone is true? If your friendship is genuine? Ask yourself: Do I influence this person to do what is right?

From A Love Worth Giving
Copyright (Thomas Nelson, 2002) Max Lucado

Tuesday, September 15, 2009

Hungry, Sleepy and Tired

"I'm tired," he sighed. So he stopped. "You go on and get the food. I'll rest right here." He was tired. Bone-tired. His feet were hurting. His face was hot. The noon sun was sizzling. He wanted to rest. So he stopped at the well, waved on his disciples, stretched a bit, and sat down. But before he could close his eyes, here came a Samaritan woman. She was alone. Maybe it was the bags under her eyes or the way she stooped that made him forget how weary he was. "How strange that she should be here at midday."

"I'm sleepy." He stretched. He yawned. It had been a long day. The crowd had been large, so large that preaching on the beach had proved to be an occupational hazard, so he had taught from the bow of a fishing boat. And now night had fallen and Jesus was sleepy. "If you guys don't mind, I'm going to catch a few winks." So he did. On a cloud-covered night on the Sea of Galilee, God went to sleep. Someone rustled him a pillow and he went to the boat's driest point and sacked out. So deep was his sleep, the thunder did not awake him. Nor did the tossing of the boat. Nor did the salty spray of the storm-blown waves. Only the screams of some breathless disciples could penetrate his slumber.

"I'm angry." He didn't have to say it; you could see it in his eyes. Face red. Blood vessels bulging. Fists clenched. "I ain't taking this no more!" And what was a temple became a one-sided barroom brawl. What was a normal day at the market became a one-man riot. And what was a smile on the face of the Son of God became a scowl. "Get out of here!" The only thing that flew higher than the tables were the doves flapping their way to freedom. An angry Messiah made his point: don't go making money off religion, or God will make hay of you!

We are indebted to Matthew, Mark, Luke, and John for choosing to include these tidbits of humanity. They didn't have to, you know. But they did - and at just the right times.

Just as his divinity is becoming untouchable, just when his perfection becomes inimitable, the phone rings and a voice whispers, "He was human. Don't forget. He had a flesh."

Just at the right time we are reminded that the one to whom we pray knows our feelings. He knows temptation. He has felt discouraged. He has been hungry and sleepy and tired. He knows what we feel like when our children want different things at the same time. He nods in understanding when we pray in anger. He is touched when we tell him there is more to do than can ever be done. He smiles when we confess our weariness.

taken from:
Max Lucado's No Wonder They Call Him the Savior; I Thirst

Saturday, September 12, 2009

Dunia Maya

Sebuah dunia yang tidak kasat mata. Di dalamnya kita bisa berjalan ke sana ke sini tanpa ada yang mengetahui sedang di mana kita berada, kecuali apabila kita mengumumkannya. Di sana kita bisa bertemu dengan banyak orang. Bisa berkoneksi dengan belahan dunia lain dalam hitungan detik. Dalam waktu yang bersamaan kita bisa mengakses beragam informasi. Klik sana dan klik sini, sambil berkomunikasi dengan teman-teman lewat messenger.

Di sini kita bilang begini, di sana kita bilang begitu. Bisa jadi, kita terjerumus dalam kepura-puraan; ketidakjujuran, bahkan kemunafikan. Siapa yang bisa tahu kebenaran yang sedang kita 'katakan' dalam dunia maya? -selain diri kita sendiri- Atau, siapa yang bisa mengenali diri kita yang sebenarnya? -selain diri kita sendiri.

Beberapa orang malah merasa lebih bisa terbuka di saat berada di dunia maya. Mereka bisa menceritakan segala sesuatunya di dalam dunia maya ini. Segala yang menjadi ganjalan bisa terluapkan dengan leluasa di sini. Terlepas dari keruwetan masalah yang masih juga ada setelah mereka mengungkapkan isi hatinya, yang penting rasa lega itu sudah terincip.

Ribuan informasi bisa kita terima dalam waktu singkat. Berita yang nggak jelas sumbernya. Informasi yang nggak penting. Fakta yang tidak dapat dipercaya. Walaupun ada juga yang informasinya bisa dipercaya. Namun, segala sesuatu yang kita dapatkan dari dunia ini hendaklah kita periksa dengan teliti dan sungguh-sungguh (terlebih dahulu) kebenarannya sebelum kita sampaikan/bagikan dengan orang lain.

Di dunia ini pula, kita bisa bertemu dengan orang-orang yang tidak pernah kita temui di dunia nyata. Bisa jadi kita berada di satu kota, namun tidak pernah bersua. Atau bisa juga kita pernah bertemu di suatu tempat, namun tidak pernah saling menyapa. Namun di dunia maya, kita bisa saling berceloteh dengan serunya. Tidak tertutup kemungkinan juga, di saat kita bertemu di dunia nyata kita bertegur sapa dengan ramah dan sopan, namun di saat bersua di dunia maya kita saling cakar dan serang dengan sengitnya.

Dua dunia yang sesungguhnya berada di satu dunia. Dua dunia yang bisa menyatukan namun kadang malah menimbulkan perpecahan. Semuanya kembali kepada bagaimana kita menyikapi dan mengambil tindakan terhadapnya. Niat seperti apakah yang kita miliki di saat kita mengakses dunia maya, misi seperti apakah yang kita emban, ke manakah kita akan membiarkan diri hanyut dalam arus maya ini, atau kontrol diri yang sempurna sudah kita miliki di saat jari kita mengarahkan mouse dan menekan tombol keyboard?

Tuesday, July 21, 2009

18 malem, 18 hari

Saat itu, Senin malam. Memasuki minggu kedua pembongkaran plafond teras yang balok-baloknya dikrikiti keganasan rayap. Tahap pengerjaan mulai memasuki finishing yang itu artinya pengecatan dimulai. Dampaknya? Bebauan menyengat menusuk hidung dan mengajak perut ini bergolak karena perasaan muak dan mual. Sementara kepala yang sakit belum sembuh, kini ditambah dengan serangan bebauan yang menambah kepusingan kepala.

Setelah meminta ijin pada kokoku buat ngungsi ke rumahnya, akhirnya malam itu juga aku berangkat ke rumah kokoku. Ngungsi di sana, sampai bebauan cat yang mengambang dan menyengat itu hilang dari segala pelosok rumah.

Sekian minggu di rumah kokoku ternyata menemukan beberapa hal yang kokoku ternyata enggak suka. Ternyata, kokoku ndak suka ikan sarden (jadi inget, kokoku ndak suka beraneka ikan --> terakhir makan bareng ikan2an kokoku jadi teler, sakit perut huehehehe). Dan ternyata juga, kokoku ndak suka rawon. Wohohoho. Jadi, pas aku masak sarden akhirnya aku sendiri yang ngabisin. Dan saat aku beli rawon aku sendiri juga yang ngabisin. Sampe dimakan 4 kali kayaknya ada woi!

Dikasi pinjem buku2 parenting, heleh ternyata kokoku punya dan mbaca buku2 parenting... jiee... hahaha... mbaca Trio Detektif lagi, mulai dari buku pertama sampe dengan buku ke 43. Jadi inget, dulu pas kecil ndak dibolehi mbaca Trio Detektif... dengan alesan yang endak jelas >.<

Dan lama kelamaan jadi interest sama ikan. Heran, Meikel sudah lumayan lama piara ikan, tapi ndak pernah interest. Akhire setelah ngungsi sekian lama di rumah kokoku dan tiap hari kasi makan ikan2 maskoki nya, jadi makin interest. Suka merhatiin dan ngelaporin ke kokoku kalo ada sesuatu benda asing yang menempel di tubuhnya (tubuh ikan, bukan kokoku!).

Setiap kali pulang ke rumah untuk ambil barang masih juga terendus bau tak enak. Bebauan kimiawi sangat sangat menggangguku!!! Belum lagi kalau para tukang yang sedang bekerja menghembuskan asap rokok mereka. Hih! Tahan nafas sebisa mungkin dan buru2 menyelesaikan urusan (ngambil barang2 yang perlu) kemudian segera kaburrr!!!

Dan akhirnya setelah sekian hari lamanya, akhirnya pulang juga ke rumah. Ada kerjaan di sana. Ada tamu yang akan berkunjung hingga larut malam, mempersiapkan acara pernikahan mereka berdua (ahem :)).

Wednesday, June 10, 2009

(bukan) Hollow Man

"... kedengaranlah suara, sungguh,
suatu suara berderak-derak,
dan tulang-tulang itu bertemu satu sama lain.

Sedang aku mengamat-amatinya, lihat,
urat-urat ada dan daging tumbuh padanya,
kemudian kulit menutupinya ..."

Gambaran di atas bukan scene di film Hollow Man. Tertulis hitam di atas putih di dalam salah satu buku yang sudah kumiliki sejak tahun 1998. Ditulis ribuan tahun yang lalu. Posisinya di buku yang kumiliki berada di halaman 961. Hitam di atas putih. Ber-index. Salah satu kitab dari Perjanjian Lama. Seorang nabi yang menceritakannya. Yehezkiel. Nggak percaya? Coba baca Yehezkiel 37:7-8

Saat membaca tulisan itu dengan penuh imajinasi, yang teringat pertama kali adalah film Hollow Man. Ini film dirilis tahun 2000. Padahal Alkitab aku punya sejak tahun 1998. Saat ngeliat scene waktu Sebastian Caine (Kevin Bacon) mulai menghilang, lapis demi lapis. Nah, ngebaca apa yang dibilang Nabi Yehezkiel, serasa ngeliat rewind mode nya. Hahaha.

Hal ini kembali mengingatkan aku betapa firman Tuhan walau sudah 'kuno' (ditulis ribuan tahun yang lalu, memuat kisah-kisah jaman dulu) ternyata malah bisa 'berpikir' jauuuh ke depan. Ribuan tahun yang lalu Nabi Yehezkiel sudah menyaksikan apa yang sekarang kita lihat di film2 fiksi yang dicanggihi efek-efek visual yang penuh pesona. Kuasa Tuhan jauuuuh melebihi kecanggihan imajinasi manusia. Hal-hal yang tampaknya tidak mungkin. Kejadian-kejadian yang tampaknya tidak bakal terjadi. Semuanya bisa terjadi. Imaji kita tak akan sanggup membayangkan kuasa Tuhan. Apalagi rasio manusia.

Monday, June 01, 2009

Becak

Fakta yang mungkin cuman diketahui dan diingat oleh orang-orang yang kenal aku -dan aku juga baru menyadarinya akhir2 ini pula! hahahaha.

Sejak tahun 1998 menginjakkan kaki di Kota Pahlawan ini, kira-kira 10 tahun lebih tinggal di Jawa Timur, belum satu kali pun aku merasakan semilir angin menerpa saat aku duduk di atas sebuah kendaraan roda tiga. Yep! Bukan gerobak, bukan juga sepeda roda tiga, tetapi becak!

Nah, sekitar 2 bulan terakhir ini becak menjadi akrab dengan diriku. Entah itu aku nyari di deket rumah buat berangkat ke kampus atau dari kampus ke rumah. Kesan-kesan di dalem becak? Wuih! Becak di Surabaya ternyata mungil dan mini. Engga kayak becak di Semarang yang gede dan dibuat naek bertiga pun masih bisa muat dan malah tambah asyik! Jadi inget dulu waktu kecil pernah naek becak bertiga terus njungkel... (bwee-heee) Becak di Semarang saking gedenya, jadi tinggi (engga pendek kayak di Surabaya) dan musti 'dijungkir' supaya penumpangnya bisa naik ke atas becak. Jadi pertama kali naek becak di Surabaya, (hampir selalu) ada jeda sesaat waktu buatku menunggu Sang Bapak Becak 'menjungkirkan' becaknya. Hahaha. Setelah sepersekian detik terpana, akhirnya aku tersadar juga dan melangkahkan kaki ke atas becak. Huehehe. Demikian halnya kalo mau turun dari becak. Hahaha.

Pertama kali naik becak, serasa badan ini musti ngebungkuk. Hiy, ternyata becak Surabaya bener2 mini dan mungil. Kepalaku sampe terantuk-antuk (bukan karena mengantuk) tudungnya -itu kalau aku duduk agak di pinggir; kalau duduk di tengah sih lebih jarang terantuknya. Terus, becak-becak di Surabaya kalo nyetir lebih mengerikan bila kita duduk di atas becak itu sendiri dibanding kalo kita ngeliatin becak dari dalem mobil (hmm, agak mbulet). Gini, dulu sewaktu masih boleh nyetir, sering banget aku ngeri ngeri gitu ngeliat becak yang nyetirnya umpak-umpakan (ugal-ugalan -duh, Indonesianya apa sih?). Nah, setelah ngerasain berada di atas becak itu sendiri, makin berasa meningkat tuh perasaan ngerinya! Hahaha. Sepanjang perjalanan selalu dipenuhi dengan syukur dan doa :p Ngajak ngomong si kecil, diajak buat doa n bersyukur selalu. Huehehehe. Yeah, inilah alesan kenapa diriku dah lama engga muncul di gereja. Mengurangi aktivitas, bener2 menjaga kondisi fisik supaya kaga kecapean (mengingat pengalaman di bulan Oktober 2008-Januari 2009 yang lalu, ada di sini). Terus, kondisi fisik emang ngedrop juga -yang aku anggep sebagai salah satu alarm buatku bener2 disiplin ngurangi aktivitas.

Tanggal 20 April 2009 yang lalu dokter menyatakan usia di kecil sudah 6 minggu. Uhuy, ndak nyangka. Hahaha. Kaget juga kalo ternyata sudah 1 bulan lebih. Hehehe. Pas itu di USG, memastikan posisi si kecil berada di tempat yang seharusnya. Duh, senengnya ternyata dia berada di tempat yang bener, kaga ngumpet ato ngupil (eh, mana keliatan ya kalo ngupil). Pulang dari dokter si kecil ta kasi tau kalo kejadiannya bener-bener bukan kebetulan dan dia musti sangat bersyukur punya papa yang sangat2 bergirang hati menyambutnya! *grin* Ditambah lagi betapa si papa ini dengan rela mem'babu' sementara si mama tergolek lemah (ekstrim ya) haha. Si mama terserang peningkatan sensitivitas pada indera penciuman dan pendengaran. Jadi sering kaget secara tak terduga, jadi ndak tahan denger suara yang terlalu keras (apalagi orang yang ngomongnya dengan volume keras) -kepala jadi pusing mendadak, rasa mual terpicu dengan segera saat mengendus bebauan tajam yang tak kunjung menyingkir. Syukurlah, sampe sekarang nafsu makan baik-baik saja. Sudah ngeri juga denger cerita dari sodara-sodara sepupu di awal-awal kehamilan mereka: pusing, mual, muntah berkepanjangan... jiii... thank God aku engga sampe separah itu :)

Kalo biasanya bangun pagi siapin keperluan Meikel, siapin sarapan, siapin air, buatin teh dengan sesendok madu, sekarang tiap pagi masih terkapar di kasur sementara Meikel siap-siap sendiri. Semoga aja, dalam waktu dekat semuanya bisa balek normal, ngerasa gak enak juga ngebiarin hubby siap2in semuanya. Malahan sering Meikel yang masakin nasi buat kita berd... eh bertiga :)

Satu bulan setelah tanggal 20 April 2009, kita bertiga balek lagi ke dokter. Pas di USG si kecil panjangnya sekitar 3,97 cm (bukan 39,7 cm yaaa mod!) dan dia isa bergerak-gerak dengan meriahnya, sampe aku yang ngeliat geli gitu. Padahal kalo dipikir2 secara logis kaga ada yang lucu juga ya... cuman pas ngeliat gitu ngerasa overwhelmed dengan perasaan takjub. Meikel yang ngeliatin aku juga sampe geli (nah, kalo yang ini mungkin masih logis ya); suami yang ngeliatin istrinya senyam-senyum dewe jadi ikutan senyam-senyum pula. Hihihihi.

Demikian sekilas update dari aku. Masa-masa sebelum ini membuatku bener-bener tak berdaya, menatap komputer terlalu lama membuat rasa pusing menyerang dan mual menerjang. Huehehehehe. Mohon maap bila selama ini menimbulkan berbagai rasa kecewa bagi para pengunjung setia yang telah sekian lama tidak menerima post yang baru ^^

Sunday, March 22, 2009

Uji Emisi Gas Buang

Astaga! Hari ini capek luar biasa! Dari pagi jam 7 udah nongol di gedung gereja lantai 2 dalam rangka 'mendampingi' operator LCD. Jam 9 nunggu tim uji emisi gas buang yang belum juga muncul. Akhirnya 3 orang panitia paskah yang kelaparan dan beranjak semaputm kita sepakat buat pergi sarapan dulu. Kita bertiga sama-sama standby di kebaktian jam 7, dengan peran yang berbeda-beda hihihi. Guntur sebagai majelis pendamping kebaktian remaja (di lantai 2). Pak Susatyo sebagai kolektan di gedung gereja kebaktian umum I. Aku sebagai pendamping operator LCD di balkon gedung gereja.

Jam setengah sepuluh lebih kita balek ke gereja dan tim uji emisi ternyata sudah datang. Setelah melakukan beberapa hal untuk dikoordinasi, kita bertiga menganggur, menunggu kebaktian pk. 09.00 selesai. Duduk-duduk dengan dihembus angin plus aroma khas tidak sedap yang terbawa angin dari pabrik-pabrik di rungkut industri melengkapi obrolan kita. Hahaha! Dan akhirnya, lagu pengutusan terdengar dari dalam gedung gereja. Sebelum uji emisi gas buang mobil berbahan bakar bensin (yang dilakukan gratis), diadakan briefing singkat di dalam gedung gereja. Hal ini membuat aku naik lagi ke balkon untuk jadi operator LCD (kali ini bukan mendampingi). Setelah selesai, maka uji emisi gas buang pun mulai dilaksanakan. 21 mobil yang sudah terdaftar akhirnya menyusut menjadi 15 mobil. Ada berbagai alasan yang membuat para pendaftar itu batal ikut.

Dan aku yang semestinya tidak mau ikut, akhirnya malah ikut nimbrung. Hahaha. Dan inilah hasilnya:
CO 5.20%
CO2 11.1%
HC 384 ppm
O2 0.54%
Hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil uji emisi setahun yang lalu. Kadar CO yang tinggi. Beberapa solusi disarankan. Pengecekan klep, filter oli, dan penggantian oli mesin yang lebih bagus dianjurkan dengan sangat. Aku cukup antusias menanggapi saran-saran tersebut. Dalam waktu dekat (bila penggalangan dana sudah mencukupi), aku bener-bener mau ganti merk oli, ganti filter oli, dan memasang alat pengionisasi yang akan sangat membantu pembakaran bahan bakar dengan lebih optimal.

Uji Emisi ini selesai pukul 12.30, capek dan sambil menunggu tim uji emisi selesai berbenah dan membereskan alat-alat, Guntur dan aku kebagian jatah penambah energi (konsumsi berlebih) yang segera kami santap... hahaha! Pukul 13.30 kita menunggu-nunggu, tim uji emisi masih belum ada tanda-tanda beranjak pergi. Akhirnya kita berdua pamit duluan, setelah mengucapkan banyak terima kasih :)