Senin malem, tepatnya masih agak sore, sekitar jam 6, terdengar suara *grek grek grekkk jdekkk* dan terulang sampe beberapa kali. Awalnya aku engga curiga sama sekali ada apa di belakang sana. Waktu itu aku di depan komputer, sementara suara itu terdengar dari bagian belakang rumah, di daerah kamar mandi, dapur, mesin cuci dan ruang makan berkumpul.
Awalnya terdengar enggak seberapa jelas. Aku pikir itu cuman angin yang menggerak-gerakkan atap rumah di bagian atas jemuran. Jadi, sudah menajamkan pendengaran tetapi masih belum beranjak dari depan komputer. Setelah akhirnya berulang lagi, aku pun tergelitik rasa ingin tahu -ditambah kengerian- (jangan-jangan ada pencuri masuk dari atas) dan beranjak ke belakang. Dan, kutemukan pemandangan yang tak terduga. Beberapa potong keramik lantai sudah terangkat sekian centimeter dari tempat seharusnya dia melekat. Ahk! Bener-bener engga nyangka. Entah apa sebabnya, mungkin karena pergerakan tanah, memuai atau menyusut aku nggak tau, yang jelas setelah kejadian itu jadi susah untuk melangkah di daerah belakang itu tadi. Mobilisasi terhambat. Bagian-bagian yang terangkat sudah jelas tidak mungkin aku injak dengan leluasa, terlebih lagi dengan berat badan yang... (ehemm, tau sendiri toh... memasuki bulan-bulan akhir kehamilan... berat badanku jadi 75kg... hahaha) Sekali waktu kelupaan kalo keramik lantai sudah terangkat dan aku melenggang di atasnya, hasilnya? Krieetttt... gitu bunyinya... hiiyy... merinding sesaat dan buru-buru menyelesaikan perjalananku di atas keramik-keramik itu. Syukurlah engga ada yang pecah... fiuh!!
Jam setengah tujuh lebih Meikel pulang. Syukurlah. Biasanya tiap Senin ada rapat sampe malem. Tapi malem itu, Meikel pulang lebih awal. Hore. Dan Meikel terperangah juga ngeliat kondisi ruang makan. Setelah pikir pikir dan coba coba dibongkar pake dicungkil cungkil, akhirnya Meikel nyerah. Aku ngeliat usahanya juga ngerasa nggak mungkin selesai sampe pagi kalo kayak gitu caranya. Akhirnya Meikel memutuskan untuk memotong pake alat semacem gergaji gitu... (ndak tau namane... Meikel kalo nyebut namane terdengar seperti sirkel... sirup kelapa? hahaha) Dan akhirnya *ngiiingggg ngggiiingggg ngiiingggg* mendenging memenuhi kepalaku dan debu berhamburan dengan dahsyatnya, menyelip dengan sigap ke dalam lubang hidung yang sudah aku tutupi dengan selembar kain. Bwerk! Setelah beberapa menit membantu Meikel mengairi keramik yang dipotong (supaya enggak terlalu panas dan pecah), akhirnya aku nyerah. Pamit ke teras rumah. Menghirup udara segar sebanyak-banyaknya walau bau debu masih menggantung di sela-sela saluran pernafasanku. Bwah!
Akhirnya sekitar jam 8 selesai sudah acara pembongkaran itu. Aku kembali masuk ke dalam rumah dan mendapati daerah ruang makan berkabut dan berbau debu. Hawrk! Kerja keras menanti. Bekas lantai yang dibongkar sangat kotor. Debu bercampur air. Coklat dan lengket, ditambah serpihan2 keramik yang agak tajam terasa menggigit-gigit telapak kaki ke mana pun melangkah. Hiy! Lemari, dapur, meja makan, semuanya berlapis debu. Patung2 dan foto2 yang berada di lemari juga diselimuti debu. Akhirnya, ambil lap dan mulailah bekerja. Semuanya selesai sekitar jam 10 malam. Waktunya mandi (lagi). Mau nggak mandi juga nggak mungkin. Tidur dengan debu menempel di rambut dan tubuh rasanya kok enggak nyaman ya... Istirahat sambil nunggu air panas, waktunya menyelonjorkan kaki... dan rasanya... ampun deh... pegelll banget... hahaha... Berdiri kurang lebih 3 jam ditambah prosesi bersih2 ternyata menguras staminaku. Fiuh. Capeknya berasa banget pas bangkit dari duduk. Nyaris nggak kuat mengangkat badan dari sofa.
Selama bersih2, aku ngelap2 sementara Meikel ngepel2 dan bersihin pecahan2 keramik, kita ngebahas sebab musabab kok bisa terjadi seperti ini. Dan hasilnya? Tidak ada... hahaha. Aku bilang, "Jangan-jangan tadi ada gempa... jadi ada pergeseran tanah..." Hahaha.
Siapa yang pernah tau kejadian apa yang bakal kita alami beberapa saat setelah sekarang? Kejadian yang kualami juga tidak terduga. Sepanjang pengetahuanku, lantai dasar tidak mungkin mengalami peledakan lanatai seperti itu. Rumah di Semarang yang meledak lantainya di tingkat dua. Di pertokoan2 berlantai keramik juga banyak yang mengalami di lantai dua. Mungkin disebabkan karena lanati dua lebih tidak stabil. Tembok yang mengapitnya bisa bergerak-gerak dan akhirnya menyebabkan lantai juga bergeser-geser tak menentu.
Masa depan, sekian detik ke depan, tidak ada seorang pun tahu apa yang akan terjadi.
Tuesday, November 24, 2009
Gempa ??
Maen Aer
Beberapa hari terakhir, tetangga sebelah sedang merenovasi rumahnya. Mulai dari mengijinkan beberapa orang tukang yang menginap di rumah sebelah. Tukang-tukang yang sangat suka merokok. Ih! Membongkar atap rumah, membersihkan rayap, mengecat rumah dan akhirnya menyebabkan debu-debu beterbangan sampai ke dalam rumah. Uhuk-uhukkk! Belum lagi sekarang ditambah dengan kegiatan memotong keramik yang menyebabkan debu-debunya berhamburan ke sana sini, bahkan beberapa kali saat aku keluar ke teras rumah bisa ngeliat debu menggantung seperti kabut yang menggelayut mengaburkan pandangan ke jalan depan rumah. Bau debu sangat sangat mengganggu. Udara sejuk (mendung dan beberapa kali hujan mengguyur) yang beberapa hari terakhir mulai 'terlihat' nggak dapat sepenuhnya kunikmati. Pintu dan jendela kututup rapat-rapat demi mengurangi serpihan debu yang melayang masuk ke dalam rumah. Jadi, panas tetep merajalela dan menyebabkan keringatku menganak sungai (hahaha, ekstrim).
Meikel bilang, sering-sering siram air di depan aja, biar debu ndak terlalu banyak. Memang ngefek sih... tapi buat nyiram2 jalan depan rumah kan itu berarti aku musti ke teras rumah dan tersengat bebauan asap rokok. Ugh! Sejak sebelum hamil tiap kali kena asap rokok aja sudah pusing-pusing, apalagi sekarang... Akhirnya, tiap kali jam makan siang (di saat para tukang pergi makan atau tiduran) yang berarti asap rokok nggak sepekat kalau mereka sedang bekerja, aku siram-siram jalan di depan rumah. Aku semprot pake air dari selang. Dari balik pagar aku siram jalanan. Sekalian nyiram taneman. Untuk menghasilkan semprotan yang jauh ke tengah jalan, luas bidang tempat keluarnya air musti diperkecil, diberi tekanan. Barulah air yang keluar akan memancar lebih jauh. Namun, bila tekanan yang aku berikan terlalu besar, ujung selang satunya (yang menancap di keran) malah terlepas, karena kurang kuat 'mencengkeram' keran.
Dalam hidup ini, kita sering 'berkelakuan' seperti air di dalam selang itu. Di saat kita mendapatkan jumlah tekanan yang 'tepat' kita bisa tepat sasaran melakukan hal-hal sesuai dengan kehendak Sang Penyemprot. Namun, bila tekanan yang diberikan terlalu besar, sementara kita tidak kuat berpegang pada Sumber Air, maka kita akan mengalir tak terkendali dan terbuang dengan begitu saja, tidak tepat pada sasaran. Bahkan, bisa dibilang kita menjadi seperti air yang tumpah dengan sia-sia.
Kehidupan seperti apakah yang akan kita pilih? Hidup yang terus memancar tepat sasaran seturut dengan kehendak Sang Pencipta -yang dibarengi dengan konsisten melekat pada Sang Sumber; atau membiarkan hidup kita mengalir begitu saja, tanpa arah, memancar tak terkendali, membasahi -bahkan mengotori dan mungkin mencelakai- orang-orang yang berada di dekat kita?