Sunday, May 25, 2008

Bahan Bakar Minyak, Gempa Bumi dan Ependi

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya sehari setelah cerita Kamis Malam nan Horor itu, pulang dari latihan PS Ekklesia, ngeliat tivi n ada berita kalo BBM naek. Wuih! Daftar harganya dipasang. Wuih lagi! Premium jadi 6000 rupiah. Solar jadi 5500 rupiah. Minyak tanah jadi 2500 rupiah. Wuih lagi lagi! Sedih rasanya. Baca2 berita di kompas online, "Pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM di tahun 2008 ini." hmm, tapi kenyataannya? Komentar2 yang diposting menanggapi berita itu lumayan "pedas" n "tajam". Sebagian dari aku bilang, "Emang kalo udah buat janji, ya tepatilah! Jangan mangkir!" tapi sebagian lagi dari aku bilang, "Keadaan sudah sedemikian parah ya, sampai pemerintah sudah kehabisan langkah -last option: naikin harga BBM."

Adakah suatu hal yang baik yang bisa kita lihat di balik kondisi ini? Kenaikan BBM. Dan tentunya akan segera diikuti oleh kenaikan segala macam biaya-biaya yang laen. Yang jelas dan pasti (dan sudah) terjadi di beberapa daerah di tanah air ini: ongkos angkutan umum naik! Beberapa daerah para sopir angkot sudah menaikkan tarif mereka. Padahal belum ada pengumuman resmi dari organda. Weleh! Kenapa kenaikan BBM tidak diikuti dengan pengumuman resmi (langsung) dari organda?! Seolah-olah tidak ada pemberitahuan secara menyeluruh. Naiknya BBM ini dibuat secara mendadak, tanpa persiapan. Wah wah. Kalau dipikir, tentunya hal ini bukan sesuatu yang baik.

Rasanya masih susah banget buat bisa melihat kebaikan -bahkan menemukan- harapan terhadap bangsa ini untuk menjadi lebih baik. Mau sampai kapan bangsa ini berada dalam kondisi yang makin lama makin merosot? Lihat saja, berapa banyak kericuhan yang muncul diakibatkan demo menolak kenaikan BBM? Berapa banyak sikap-sikap anarkis yang melahirkan bentrokan di sana-sini? Pembagian BLT yang tidak tertib. Di beberapa daerah terjadi tudingan2 terhadap aparat terkait bahwa mereka melakukan korupsi, melakukan pengurangan jatah BLT. Di banyak daerah terjadi antrean panjang yang menyesakkan. Banyak anak-anak, wanita dan para lanjut usiawan terhimpit. Sakit pasti. Panas iya. Sesak bisa jadi. Berebut. Menyikut. Mendorong. Menghimpit. Menjepit. Duh. Inikah gambaran perbaikan bangsa?

Masih juga belum bisa menemukan kebaikan yang bisa membawaku kepada pengharapan.

Dan akhirnya beberapa waktu yang lalu, saat Papa telp, Papa cerita tentang gempa di China. Buat beritanya bisa klik di sini. Dan kalau mau melihat detail data geografisnya klik di sini. Kejadian yang mengejutkan. Hingga kini korban jiwa yang menderita akibat gempa sekitar 80.000 jiwa! Belum termasuk kerugian materi. Tewas. Hilang. Sakit. Luka parah. Kehilangan tempat tinggal. Mengalami trauma. Kehilangan harta. Kehilangan semangat hidup. Kehilangan para kekasih. Bantuan yang dikirim sangat banyak. Tangan-tangan yang terulur juga tak sedikit. Papa ngeliat di berita tivi stasiun lokal China, di sana diperlihatkan antrean orang-orang yang menyumbang. Bukan antrean orang-orang yang meminta sumbangan. Perhatikan ini: anteran orang-orang yang menyumbang! Waw! Luar biasa! Dan salah seorang di antaranya, ada seorang yang menyumbangkan (hampir -aku kurang jelas) seluruh hartanya untuk korban gempa. Walau jumlahnya ndak banyak (saat itu Papa bilang sekitar 145 yuan -aku agak lupa). Langsung mengingatkanku pada kisah janda miskin yang Yesus ceritakan dan dicatat dalam salah satu keempat Injil. Karena saat itu Papa bilang, "Jumlahe ndak banyak, tapi itu semua uange dia..." Wew! Jaman sekarang masih ada orang kayak gitu. Setelah selesai uange "nyemplung" ke dalem sumbangan, lantas dia mau beli-beli keperluan sehari2nya gimana? Well, kenapa jadi aku yang bingung? Dia nya aja engga bingung.

Masih ada orang yang memberikan seluruh 'kekayaannya' untuk membantu meringankan penderitaan orang lain. Mungkin jumlahnya terlalu sedikit untuk bisa menghilangkan derita salah seorang korban gempa. Mungkin jumlahnya tak dapat menyembuhkan trauma pasca gempa. Mungkin malah ada yang mengejek dan menertawakan jumlah yang sangat kecil itu. Namun, apakah semua hal ini ada di dalam pikiran Sang Penyumbang? Apakah ejekan akan mencegahnya memberikan kekayaannya? Apakah deretan orang-orang 'yang lebih kayak' di depannya membuatnya keluar dari barisan?

Harapan apakah yang ada dalam benak Sang Penyumbang ini?
Akankah ada perubahan yang berarti yang terjadi karena seluruh kekayaannya?

Dalam situasi yang sedemikian kacaunya. Sang Penyumbang masih melihat adanya harapan. Dia menyerahkan seluruh kekayaannya. Mungkin masa depannya. Mungkin kekayaannya yang terakhir itu adalah modal untuk membuka sebuah usaha baru. Mungkin dirinya adalah salah seorang korban gempa juga. Mungkin rumahnya juga sudah tak beratap dan tak bertembok. Rata dengan tanah.

Hal ini membuatku malu. Sungguh. Diriku dengan keadaan yang jauh lebih baik dari diri Sang Penyumbang, namun tak mampu melihat harapan. Sebuah kisah lagi mengenai harapan.

Semalem liat di MetroTV film dokumentari tentang sekor bunglon yang tinggal di padang pasir Afrika. Ependi. Seekor bunglon betina. Dia menyimpan telur-telurnya di bawah pasir. Dia kubur dengan baik. Lantas dia tinggalkan. Selama 3 bulan telur2 itu dibiarkan di dalam pasir. Dan setelah 3 bulan kemudian, telur2 itu menetas. Selama 3 bulan berjalan, Ependi mencari makan, bertahan hidup di padang pasir. Beberapa binatang yang lebih besar dan kuat daripadanya berusaha mengusiknya. Namun, Ependi tetap bertahan hidup dengan perkasanya. Dengan rahangnya yang kuat, Ependi melumat mangsanya. Serangga dan binatang2 yang merayap di tanah, kecuali kaki seribu. Dalam sehari Ependi dapat menghabiskan 300-400 mangsa -apabila dia mendapatkannya. Hidup di padang pasir tentunya bukan hal yang gampang. Panas. Kering. Dingin membekukan. Air susah didapatkan. Ependi memperoleh air melalui embun di pagi hari. Waw! Sekalipun panas dan kering, ternyata masih ada embun. Walaupun sedikit, namun sangat berarti. Demikian pula makhluk2 lainnya pun mendapatkan air dengan cara yang sama. Dengan perlahan Ependi menanti jatuhnya air yang menetes dari ujung daun. Beberapa ekor ular derik menjilati tetes-tetes embun yang terselip ke dalam kulit tubuhnya yang bersisik. Telaten. Sabar. Luar biasa! Dan dari manakah embun itu berasal? Secara alami, embun terjadi melalui proses kondensasi. Namun siapakah yang mengatur segala sesuatunya berjalan sedemikian? Tak lain dan tak bukan adalah Pencipta Alam Semesta lah yang mengatur. Bahkan untuk seekor bunglon betina yang meninggalkan telur2nya, Tuhan memikirkan dan merancangkan tetes-tetes embun untuk memenuhi kebutuhan Ependi terhadap air.

Sekalipun belum kutemukan hal-hal baik dari kejadian2 yang terjadi akhir2 ini, namun kutemukan harapan. Ependi mengajarku untuk berharap hanya kepada Sang Pencipta. Menanti tetes embun itu meninggalkan pucuk daun dan menyegarkan kulitnya yang kering. Membasuh matanya yang pedih. Menanti dengan sabar. Berharap kepada Sang Pencipta.

Selamat berharap!

1 comment:

Anonymous said...

Very touching story about that Chinese person & the ependi. Keep on hoping sist, for we hope in the great great God.
Gbu.