Monday, August 11, 2008

"Aku ini, Jangan Takut!"

Ringkasan Kotbah
Minggu, 10 Agustus 2008

Kebaktian GKI Kutisari Indah
Pk. 07.00 WIB

Dilayani oleh: Pdt. Wahyu Pramudya

Bacaan:
Kejadian 37:1-4, 12-28
Mazmur 105:1-6
Roma 10:5-15
Matius 14:22-33

Sebuah relasi akan bertumbuh, bila terjadi sebuah keadaan "saling": memberi dan menerima. Demikian pula halnya dengan beriman. Beriman digambarkan dengan sebuah mata uang. Memiliki dua buah sisi. Di satu sisi, kita mengharap Tuhan mengabulkan apa yang kita minta, di sisi yang lain, kita juga musti memikirkan apa yang Tuhan harapkan untuk kita perbuat/berikan.

Iman yang sehat, memiliki kedua sisi tersebut. Memiliki dua sudut pandang: sudut pandang kita dan sudut pandang Tuhan. Menikmati berkat yang Tuhan berikan, bersukacita, berproses dan terus bertumbuh. Dalam Roma 8:29 ditulis, "Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran AnakNya..." Bertumbuh untuk mencapai kesempurnaan. Menjadi serupa dengan Kristus. Ini adalah sebuah perjalanan iman yang tak akan pernah berhenti sampai dengan kita meninggal dunia. Ada proses dan waktu yang akan kita lewati. Namun, proses dan waktu tidak dengan sendirinya mendewasakan iman kita.

Matius 14:22-33 menyatakan, ada saatnya Tuhan tidak tampak dengan jelas. Mungkin dalam pergumulan dan proses pertumbuhan yang kita alami, Tuhan seolah terhalang badai. Kita merasa sulit untuk megarahkan pandangan kepada Tuhan, karena Tuhan tidak tampak oleh 'mata' kita. Kita merasa Tuhan tidak sedekat yang dulu pernah kita rasakan. Jawaban Tuhan seolah tak kunjung kita terima. Tuhan seolah membiarkan kita berada dalam 'bahaya'. Meninggalkan kita sendirian. Hal ini juga yang dialami oleh para murid. Mereka yang sudah pernah menyaksikan berbagai mujizat yang Yesus lakukan, saat berada di tengah badai, mereka tak dapat mengenali kehadiran Yesus. Dan pada saat Petrus mengarahkan pandangan kepada panggilan Yesus, mujizat terjadi! (ayat 29) Petrus berjalan di atas air. Dan Petrus pun mulai berjalan kepada Yesus, namun kemudian Petrus mulai kehilangan fokus pandangannya, dia merasakan angin yang bertiup keras, dia merasakan percikan air yang mengenai tubuhnya, dan tenggelamlah dia dalam keraguan dan ketakutannya (ayat 30). Pandangannya yang mantap kepada Yesus menjadi terhalang badai. Petrus kehilangan fokus.

Memang, ada kalanya dalam kita bertumbuh, kita akan mengalami saat-saat sulit melihat Tuhan. Inilah bagian dari sebuah proses pertumbuhan itu sendiri. Ada sebuah ritual di sebuah suku Indian. Ritual ini mengharuskan seorang anak lelaki yang memasuki umur 13-14 tahun, diharuskan menjalani uji keberanian. Bila dia lulus, maka dia dianggap menjadi seorang Indian dewasa yang sudah siap berperang. Bila tidak lulus, maka nyawanya akan melayang pada saat itu juga. Ujian ini mengharuskan si anak lelaki ini ditempatkan di sebuah hutan lebat yang dipenuhi binatang buas, di samping sebuah sungai yang penuh dengan buaya. Dan si anak ini harus berada di dalam hutan ini selama semalam. Di malam yang begitu gelap, sehingga untuk melihat tangannya sendiri anak lelaki ini tak bisa. Seorang diri. Sore harinya, pamannya mengantarkan dirinya masuk ke dalam hutan. Saat hari mulai gelap, pergilah pamannya. Bila anak ini mengikuti pamannya kembali ke kampungnya, maka nyawanya melayang. Demikian pula bila dia tak dapat mengendalikan rasa takutnya, dia berteriak-teriak dan menangis, nyawanya pun tak akan ada lagi. Maka malam pun turunlah. Dan si anak mulai mendengar berbagai macam suara binatang hutan. Membuatnya ketakutan. Dia juga mendengar lolongan serigala yang semakin lama semakin mendekat. Lolongan yang berubah menjadi geraman. Dekat dirinya. Gemetarlah anak ini. Namun, apa yang dapat dia lakukan? Melihat tangannya sendiri saja sulit. Pasrah. Mati dicabik-cabik serigala atau dibunuh sukunya. Sama saja akhirnya. Dia menunggu dan menunggu saat luka pertama yang akan dia rasakan. Namun saat itu tak kunjung tiba. Hingga akhirnya kegelapan itu mulai merayap meninggalkannya. Keremangan pagi hari membuatnya mulai bisa melihat lagi. Dan dia melihat di dekatnya ada dua ekor serigala yang terkapar. Mati. Kemudian dia melihat juga seorang lelaki dewasa yang memegang dua tombak di kedua tangannya. Tombak yang berlumuran darah serigala. Dan dia sangat mengenali lelaki ini. Ayahnya. Ternyata, semalaman, ayahnya telah menjaganya. Tidak membiarkan dia seorang diri, walaupun kesendirianlah yang dia rasakan sepanjang malam gelap.

Janganlah membandingkan lingkungan sekitar kita dengan kemampuan yang kita miliki. Bila itu kita lakukan, maka hanya ketakutanlah yang akan menguasai kita. Bandingkanlah lingkungan (masalah yang kita hadapi, tagihan2 yang musti kita bayar, masalah dalam keluarga, konflik dengan teman sekantor, masa depan yang tak jelas, dll.) dengan kekuatan Tuhan. Maka pengharapanlah yang akan kita dapatkan!

Banyak hal dalam kehidupan kita sehari-hari kita jalani dengan penyerahan diri yang luar biasa. Saat kita merasa sakit, kita akan berkonsultasi ke seorang dokter. Apakah kita meragukan keberadaan dokter tersebut dan melakukan beberapa pengecekan? Menelurusi keabsahan gelar dokter yang dia sandang di depan namanya? Tentu tidak. Dan saat dokter memberi kita secarik resep dengan tulisan yang tak dapat kita baca, kita juga dengan percaya (begitu saja) membawanya ke apotek. Di apotek, kita juga engga kenal si apoteker, namun kita juga percaya begitu saja kepadanya, bahwa dia dapat membaca resep (yang kita tak dapat baca tadi) dan meraciknya menjadi obat yang akan kita minum dan menyembuhkan sakit kita.

Bila kepada manusia, kita bisa melakukan penyerahan diri sedemikian besar, bagaimana dengan penyerahan diri kita kepada Tuhan? Tuhan yang sudah disalib, yang mati untuk kita, yang sudah menyerahkan Tubuh dan DarahNya untuk membersihkan dosa kita. Masihkah kita meragukan kasihNya? Masihkah kita meminta 'tanda' yang menunjukkan keberadaanNya?

"Aku ini, jangan takut!"

2 comments:

wahyu pramudya said...

rika,

wih hebat bener nyatet khotbah saya, pas bener dengan catatan yang saya pegang. sip dah...


wepe
wepe.co.cc

rikaindriani said...

to kak wahyu:

makasih banyak, kak.
dapet banyak berkat n teguran dari khotbah yang kak wahyu ajarkan kemaren Minggu :)